Recent Posts

Saturday 30 November 2013

setengah tujuh pagi



...

dan dari arah timur matahari aku melihat gerombolan manusia bergerak mendekat,
jumlah yang tidak bisa lagi aku indentifikasi.
entah berapa banyak kepala, berapa pasang mata, berapa pasang kaki.

dari tengah kerumunan manusia itu menyeruak seorang berbadan tegap dan kekar.
begitu terburu - burunya ia sehingga mas - mas berbadan kecil di baris paling depan jatuh terhempas cukup keras.

 "heh pak! kalo jalan hati - hati dong! nggak punya mata apa gimana?!!" hardiknya.
"perhatikan mulutmu! Tidak tahu saya ini sedang terlambat?!" pria tadi membalas.
"semua orang disini juga terlambat, GOBLOK!!" seru mas-mas dengan ketus.

pria berbadan tegap merenggut kerah baju mas - mas berbadan kecil tadi dan mencoba melayangkan kepalan tangannya kearah wajah si mas - mas. tanpa disangka lawannya menepis tangan pria tadi dengan sigap seraya bangkit berdiri dan membalas pukulan pria itu.

cukup asyik aku melihat mereka saling melempar tinju.
darah mengotori baju mereka. dasi mereka koyak. kancingnya putus.
orang - orang lain tidak peduli,
mereka tidak menoleh.
hanya polantas yang posturnya tinggi sedikit kurus ditengah jalan raya  yang memperhatikan perkelahian kecil yang remeh ini, sambil tetap sibuk mengatur lalu lintas. 

tidak ada anak kecil aku lihat,
hanya manusia - manusia dewasa yang bergerak dengan ritme yang cepat.
dan jika kau perhatikan dengan seksama, akan kau dapati langkah kaki mereka bergerak hampir bersamaan.
kiri
kanan
kiri
hampir seperti kumpulan zebra ditengah sabana, yang berlari bersamaan menghindari predator yang mengekor dibelakang.
hmmm...mungkin juga sama?
apa mungkin 'waktu' - kah predator para manusia kota?

tuuuuuuuttttttt...

aku dikagetkan dengan bunyi klakson kereta dari arah belakang.
gerbong besi itu bergerak, beranjak pergi dari tempatnya semula,
meninggal kerumunan manusia didepanku yang masih saja bergerak terburu - buru, berjalan dengan cepat, sesekali berlari. 
kerumunan manusia yang jumlahnya sudah tak bisa aku hitung lagi,
entah berapa banyak kepala, berapa pasang mata, berapa pasang kaki.
dan sesaat kemudian aku menyadari bahwa waktuku telah habis disini.






jakarta,
lima november 2013
photo; Rain Tunnel by Randy Bui 
(crtsy of Pinterest)

Wednesday 27 November 2013

Legenda Bumi dan Hujan

"Namaku Bumi, Jagad Bumi.
semesta mentakdirkan aku menjadi seorang lanang
lihatlah, aku Kuat.
otot - ototku kencang dan liat.
Jariku bulat mengepal, dan kau akan melihat kepalanku sekeras batu kali dipinggir sungai yang besar dan licin keras.
kaki - kaki ku kokoh, memijak tanah dengan kuat. betisku yang kencang dan pahaku yang pejal menopang tubuhku yang kekar dan bertenaga.
kuda liar disabana manapun tidak sebanding denganku.
aku adalah Bumi, Jagad Bumi.

o kawan, kau tak akan melihatku bergeming.
sebab aku berpijak seperti pohon jati tua di gunung - gunung kapur yang menghujamkan akarnya jauh kedalam tanah, menembus karang dan batu - batu yang keras.
kau pernah memperhatikan arah utara?
ya, ada Gunung Merapi disana.
aku dan dia adalah serupa.
kita dilahirkan bersama.
mataku membelalak dan aku berteriak lantang pada hari pertamaku ketika Merapi masih menggeliat dan bergejolak. masih panas membara dan merah padam wajahnya. menangis kepada Semeru, ayahnya, dan merengek manja kepada Rinjani, ibunya."

...

"suatu kali aku bertemu dengannya. 
Hujan namanya. itu saja, satu kata.
iya, aku tahu, memang aneh namanya.
macam mana manusia yang memberi nama anaknya seperti itu?
atau mungkin bukan manusia yang memberi ia nama. 
Tuhan kah?
Semesta?
ahh.. 
aku tidak mengerti. pun aku tidak mengenal dia.
sosoknya asing, se - asing namanya.

hmm...Hujan.
ia selalu datang tak menentu. 
terkadang sore hari, menjelang senja. 
terkadang pagi hari, seperti sekarang ini.
aku cuek saja. 
kututup pintu dan aku kunci. kusingkap gorden menutupi jendela.
ia selalu membuatku tak berdaya ketika ia datang.
tak bisa pergi, tak bisa kemana dan hanya diam termangu dirumah.
aku merasa ke-lananganku dilucuti, dicerabuti sampai pada akar - akarnya.
aku merasa kalah dengan Merapi. untuk yang pertama kali.
aku tidak tahan lagi.

akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengannya.
awalnya gerimis, pelan. damai. lalu kelamaan semakin deras, liar, tak terkendali.
entah berapa banyak air yang ia tumpahkan kepadaku, mengujam tubuhku.
 jatuh dari atas langit yang jauh dengan kecepatan yang tidak bisa aku perhitungkan lagi.
ibu, tolong..
aku basah kuyub."

...
"namun ini sedihnya ceritaku.
kamu harus tahu.
aku dan Hujan di takdirkan berbeda.
begitu banyak yang tak serupa diantara kami.
aku dibawah, sedang Hujan diatas.

kami hanya bisa bertemu satu dua kali.
terkadang ia menghilang, dan kami tidak bisa bertemu.
biasanya satu musim lamanya, dan aku merasa kekeringan.
positif saja, mungkin ia sedang sibuk?

namun aku selalu merindukan saat Hujan menghujam tubuhku.
menumpahkan airnya padaku.
membuatku diam mengaga dan termangu tak berdaya.
membuatku basah kuyub.
membuatku hijau setelahnya.

ahh....Hujan, 
kapan datang lagi?
aku sudah rindu ingin bertemu."

...